Ritual pagi bila ada teman atau saudara ke Bandung adalah ajak mereka ke Bubur Ayam Alkateri. Letak gerobak buburnya di Jl. Alkateri, persis di depan Warung Kopi Purnama. Kali ini kami tiba pukul 07:10, biasanya saya hanya bilang, “4 porsi ya pak, di dalam” lalu si Bapak mengiyakan. Pagi ini berbeda, dia menjawab, “Sebentar ya, ini yang di luar aja pada belum kebagian.” Akhirnya saya putuskan untuk menunggu di dekat gerobak sambil memperhatikan situasi.
Ada lima orang di gerobak itu. Kurang lebih begini hasil pengamatannya:
– Bapak menuangkan bubur dari tong yang satu ke tong yang terletak di dalam gerobak.
– Ujang #1 menyuir ayam.
– Ujang #2 mengantar bubur ke dalam (ke dalam Warung Kopi Purnama).
– Si Bapak mencari muka pemesan yang sudah duduk untuk mengkonfirmasi pesanan mereka lantas menuangkan cakwe dari tempat penyimpanan ke wadah yang ada di atas gerobak. Lalu membuat pesanan bubur.
– Ujang #3 mengantar bubur ke pemesan yang duduk di luar.
– Bapak si pemilik kembali mencari muka pemesan, melakukan konfirmasi pesanan, lalu membuatnya lagi.
– Teteh #1 mencuci mangkok dan kembali ke gerobak menaruh piring yang sudah bersih.
– Bapak mengulangi yang dia lakukan, mencari pelanggannya, konfirmasi pesanan dan membuatnya.
– Ada pelanggan yang sudah selesai makan lalu membayar, si Bapak pula yang melakukan penghitungan dan mengeluarkan uang kembaliannya. Lalu kembali melanjutkan proses membuat buburnya.
Terlihat beban kerja kelima orang tersebut sangat timpang. Mungkin itulah yang terjadi pada saat kita “nyemplung” di bisnis yang kita geluti, apalagi bila kita sudah melakukannya puluhan tahun.
Sejujurnya saya salut sama si Bapak, dia bisa hapal urutan pelanggan yang datang. Tapi saya gak bisa tahu pasti sebenarnya urutannya betul atau tidak ya? Karena di sela-sela membuat bubur, ada orang baru datang lalu pesan lagi, ada orang membayar, ada yang customise pesanannya, memberi instruksi untuk antar bubur ke si ujang, dkk.
Lalu teman saya datang menemani saya menunggu di dekat gerobak dan kita diskusi mengenai situasi yang kita lihat. Ada hal-hal sederhana yang bisa membuat pekerjaan menjadi lebih terbagi rata. Bahkan saya bercanda, “kita jadi konsultan si Bapak aja yuk, free of charge. Abis kasihan ngeliat dia kelabakan sendiri.”
Akhirnya kami mendapat giliran dan tak lama kami bisa menyantap bubur itu dengan lahap. Emang buburnya enak kok.
Sepulang makan bubur, saya mikir. Kita harus bisa jadi konsultan untuk diri kita sendiri. Caranya ya memang harus ambil waktu untuk menganalisa apa yang sudah terjadi di hidup kita. Cek apakah sudah sejalan dengan yang kita inginkan? Atau malah jalan di tempat? Atau melenceng ke jalan yang lain?
Lalu ambil keputusan untuk meningkatkan hasil yang sudah ada saat ini.
Sekian filosofi Kaizen ala tukang buburnya. Kalau ke Bandung, coba luangkan waktu untuk makan Bubur Alkateri ya. Saran saya datang antara jam 7-8 pagi. Kalau sedang ramai sekali, jam 8 pun sudah habis. Makan di dalam saja (di Warung Kopi Purnama) supaya bisa minum teh susu / es teh susu yang juga tak kalah nikmat.